(dibuat untuk mengikuti event antologi GPS)
Semua berawal dari kisahku. Pertama kali aku mendapatkan panggilan ukhti itu dari dunia maya yang tidak lain dan tidak bukan yaitu fesbuk. Kemudian berlanjut ketika diperkuliahan. Hhmmm maklum, tempat kuliah ku itu memang tempat kuliah yang notabennya bergenre kan Islam. Jadi panggilan ukhti itu sudah menjadi panggilan yang tidak asing lagi. Terlebih lagi ketika aku ikut di organisasi yang orang-orangnya memang dapat dikatakan akhwat-akhwat dan ikhwan-ikhwan betolll.
Ya, mungkin memang benar. Ukhti adalah sebutan untuk saudara perempuan muslim (baca: muslimah). Tapi tetap saja aku tidak ingin dipanggil ukhti. Karena, aku merasa bahwa sebutan ukhti ataupun akhwat itu hanya pantas sebutan bagi wanita-wanita yang ilmu agamanya mahir. Atau kurang lebih wanita yang seperti itu lah yang di sebut akhwat. Yang tertanam didalam benakku gambaran seorang akhwat atau ukhti itu adalah wanita yang memakai pakaian tidak ketat atau membentuk tubuh. Pakai rok panjang, no jeans. Jilbab panjang dan tidak dibentuk-bentuk serta tidak tipis. Selalu memakai kaos kaki. Tidak bersentuhan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya apalagi berbocengan diatas motor. Tidak mengenal yang namanya pacaran. Selalu datang ke masjid. Selalu membawa al quran didalam tasnya. Ketika bertemu orang mengucap salam. Kalau bertemu dengan sesama saudara muslimahnya selalu cipika cipiki. Sholat tepat waktu. Tilawah, dan sebagainya.
Sangat berbeda denganku pada waktu itu. Aku memang telah memakai jilbab namun jilbabku tidak lebar apalagi tebal, masih suka memakai jeans karena saat itu yang ku punya hanya rok sekolah, terkadang masih suka tidak memakai kaos kaki, sholat ku pun masih suka bolong-bolong dan setiap kali diajak untuk sholat berjam’ah pasti ada-ada saja alasan yang ku lontarkan. Aku juga jarang membaca al quran, bahkan untuk menyentuhnya pun aku sangat jarang pada waktu itu. Ketika masih SMA dulu aku juga sering bolos dalam program mentoring yang seharusnya wajib hadir disetiap hari jum’at sepulang sekolah. Kalaupun aku datang, biasanya aku juga tidur-tiduran, atau membuat kondisi mentoring mejadi tidak seperti seharusnya.
Satu-satunya wanita atau akhwat yang belum memakai jilbab dalam organisasi ROHIS (Kerohanian Islam) pada saat di sekolah dulu, hanya aku seorang. Sampai-sampai Bapak guru yang mengajar pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang juga menjadi pembina rohis kami saat itu, serta teman-temanku juga bahkan yang laki-lakinya, selalu membujukku agar aku memakai jilbab dengan perkataan-perkataan mereka salah satunya seperti ini, “Yen,,, kapan ingin hijrah??? Tinggal dirimu sendiri yang belum memakai jilbab”. Wajah ini pun langsung berubah dikarenakan rasa malu.
Namun, tetap saja walaupun sudah di rayu-rayu, hatiku belum tergerak untuk memakai jilbab pada saat itu. Apalagi ketika aku melihat fenomena yang datangnya dari teman-temanku dan adik-adik kelas ku. Mereka ketika disekolah berjilbab rapi, dan ketika sepulang sekolah bahkan ada yang masih didepan gerbang sekolah jilbab itu mereka lepaskan. Ada juga yang memakai pakaian tidak sepantasnya ketika keluar rumah.
Dan sampai pada suatu ketika aku mulai siap untuk memakai jilbab. Aku mulai mengenakan jilbab itu dikelas 3 SMA semester 1, tepatnya seusai ramadhan. Mungkin memang benar semua itu butuh proses dan aku sangat sepakat akan hal itu. Yang pasti aku berjilbab bukan karena bujukan-bujukan dari orang lain. Tapi itu sungguh dari hati dan niat karena Allah SWT. Meskipun jilbabnya belum sempurna, dan syar’i.
Aku sadar bahwa aku ini telah banyak sekali melakukan kesalahan. Aku sering sekali melakukan hal-hal yang semestinya tidak dilakukan oleh para muslimah pada umunya. Seperti bermain bola misalnya. Aku tidak tahu kapan aku ini dapat sadar hingga panggilan ukhti itu memang sungguh-sungguh melekat dan memang aku pantas disebut ukhti. Ahh namun semua itu kembali lagi kepadaku.
Aku berharap semoga Allah dapat secepatnya mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepadaku. Namun aku tidak akan berdiam diri untuk menuggu datangnya hidayah dari Allah itu. Aku akan mengambilnya dari Allah. Semua harus ku lakukan dimulai dari diriku sendiri. Karena didalam firman-Nya pun Allah pun juga telah mengatakan bahwa Allah tidak akan pernah mengubah nasib suatu kaum apabila kaum tersebut tidak ada usaha untuk merubahnya.
Ingin sekali rasanya aku mengatakan kepada mereka agar tidak memanggil ku “Ukhti”, karena aku memang sangat merasa belum pantas untuk dipanggil dengan sebutan yang sedemikian mulia itu. Aku pun selalu seperti disadarkan bahwa aku terlalu banyak dosa, jika mengingat image seorang ukhti yang sesungguhnya...
---
#tulisan di buat pd thn 2011 untuk di ikutkan di event antologi GPS "first writing"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar