Jumat, 18 Desember 2015

Selamat Jalan Mang Mukti "Nahu Sen"

Mang mukti, sapaan orang-orang kepadanya. Mang mukti adalah tetangga di sebelah rumah ku. Orangnya lucu, baik dan suka mengajak anak-anak kecil bermain. Dan beliau pun suka bernyanyi dengan diiringi petikan gitar yang dimainkannya.
Ku ingat saat itu aku yang masih berumur 8 tahun tepatnya kelas 3 SD. Aku merengek untuk minta dibelikan robot-robotan bongkar pasang yang bisa juga menjadi mobil. Tapi mama tidak mau menuruti permintaan ku. Karena kata mama aku baru saja membeli mainan yang lain. Tak henti-hentinya aku menangis.

Ternyata dari tadi mang mukti melihati ku menangis. Dan keesokan harinya saat aku pulang dari sekolah, ingin masuk ke pagar rumah, "Fi, rafi... Sini...." panggil mang mukti dari dinding pembatas rumah kami. Aku pun mendekat... "Ada apa mang?" Jawabku. "Ini untuk rafi, mainan..." ujarnya. Pas aku buka, ternyata..."Horeeee robot-robotan bongkar pasang"..teriakku kegirangan. "Terimakasih ya mang...". "Iya. Jangan nangis lagi ya. Dan harus rajin belajarnya..." Kata mang mukti sambil mengusap rambutku.

Mang mukti bukanlah orang yang berpenghasilan besar. Beliau hanya seorang pedagang mainan anak-anak. Mang mukti hidup sebatang kara. Mang mukti telah lama bercerai dari istrinya. Mang mukti mempunyai anak, tapi beliau tidak ingin menyusahkan anak-anaknya. Itulah yang ku salut dengan mang mukti.

Mang mukti tidak pernah sungkan untuk membantu sesama. Walau dengan penghasilan yang kecil yang ia peroleh. Beliau juga terbilang orang yang pandai dalam membaca al quran. Oleh karena itu setiap malam habis sholat magrib menjelang sholat isya. Aku dan anak-anak disekitar rumahku selalu kerumahnya untuk belajar mengaji. Beliau tidak pamrih, dan sangat senang mengajarkan kami. Tanpa di bayarpun tidak masalah.

Oya pernah juga waktu itu beliau bercanda dengan kami(anak-anak disekitar rumah). Entah aku lupa itu apa percakapan kami awalnya. Tetiba mang mukti mengeluarkan kalimat "Nahu Sen"... Kami tercengang. Lalu Fatan bertanya, "Apa mang nahu sen?". Hehe. Mang mukti pun tertawa "nahu sen itu artinya tidak punya uang"... "Ooooooo...." Jawab kami secara berbarengan. Karena kalimat nahu sen yang di cetuskan oleh mang mukti itu. Kami setiap hari sering menggunakannya ketika kami lagi bermain. :D

Namun setelah aku besar tepatnya aku sudah SMA. Mang mukti pindah rumah. Dan rumahnya yang di sebelah rumah kami itu, dijualnya. Ternyata beliau sudah membeli rumah di dekat rumah anaknya, dan anak laki lakinya yang meminta. Beliau pernah ditawarkan oleh anak laki lakinya untuk tinggal bersama dirumahnya. Namun tetap saja mang mukti menolak. Walau sudah pindah tapi komunikasi keluarga kami dan mang mukti tetap terjalin dengan baik. Terkadang aku juga yang duluan menelpon beliau untuk menanyakan kabar.

Seminggu yang lalu... Kring.....kring....kring.... Suara telpon rumah ku berbunyi. Ternyata itu telpon dari keluarganya mang mukti, yang tidak lain adalah anak lelakinya. Papa yang mengangkat telponnya.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumusalam..."
"Ini benar dengan rumahnya om hafis"
"Oya benar, saya sendiri, ini siapa?"
"Ini indra anaknya pak mukti om... Ingin memberi tahu, tadi malam ayah sudah pergi ke rahmatullah... Sempat koma selama 1 hari. Karena kecelakaan saat berjualan, keliling. Kesenggol mobil, dan langsung jatuh terbentur tortoar. Dan sebelum ayah menghebuskan nafas terkahir, beliau meminta untuk mengabarkan keluarga om hafis, dan beliau menitip salam kepada keluarga om hafis dan terutama untuk rafi"
"Innalillahi wa innaillahi rojiun..." Kami yang pagi itu ada dirumah, dan aku baru akan pergi ke kampus, terkejut mendengar papa mengucap itu... "Kami sekeluarga turut berduka cita ya ndra, semoga almarhum di terima di sisiNya, dan keluarga diberi kesabaran" sambung papa...
"Ya om aamiin... Terimakasih. Siang ini dimakamkan om, selepas bakda sholat zuhur"
"Oya insya Alloh kami sekeluarga akan kesana".
"Terimakasih om, Assalamualaikum..."
"Waalaikumussalam..."
Setelah papa menutup telpon tersebut dengan wajah yang senduh sekali. Aku yang paling semangat bertanya, "Pa siapa tadi? Dan siapa yang meninggal?", "Tadi anaknya mang mukti yang menelpon, ia mengabarkan kalau mang mukti malam tadi meninggal dunia karena kecelakaan. Dan sempat di rawat di rumah sakit dan siang ini akan dimakamkan" Ucap papa...
"Innalillahi wa inna ilaihi roojiun" Ucapku dan mama...

Lalu sejenak ku ingat semua kenangan bersama mang mukti saat ku kecil dulu. Sekarang sosok yang murah hati, penyayang anak-anak kecil, suka membantu sesama, dan pekerja keras itu tidak ada lagi. Diakhir usianya pun beliau sama sekali tidak ingin merepotkan orang lain. Beliau masih tetap bekerja. Sampai dengan maut menjemputnya.

Ku ingat pesannya, saat beliau ingin pindah rumah waktu itu, "Fi, kamu itu laki-laki. Kamu harus jadi laki-laki yang pekerja keras, mandiri dan jangan sampai merepotkan orang. Berbagi dengan sesama adalah kewajiban. Dan ingat, ibadah kepada Allah jangan pernah putus. Karena semua yang kita miliki di dunia ini adalah kepunyaanNya. Termasuk diri kita. Dan kelak di akhirat, semua ini akan diminta pertanggungjawaban. Jadi berbuatlah yang bermanfaat selama hidup di dunia ini"
Sampai kapanpun aku kan selalu mengingat pesan dari mang mukti. Aku juga heran, kenapa istrinya dulu meninggalkannya. Orang baik seperti mang mukti. Hhmmmm.

Selamat jalan mang mukti "nahu sen". Heee. Kenangan-kenangan dan pesan moril yang telah engkau berikan. Insya Allah kan selalu ku ingat, sebisa mungkin pesan-pesanmu itu akan aku aplikasikan di dalam kehidupanku. Insya Allah...
Yang tenang ya mang di sana... Syurga pantas untuk orang sepertimu... ^_^

Hari ini adalah hari ke tujuh selepas kepergian mang mukti...

Rabu, 16 Desember 2015

12 Jam Yang Penuh Makna

Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen Islami (Religi)Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 23 December 2015

Stelah sholat duha, aku pergi ke meja makan untuk sarapan. Seperti biasa papa dan mama sudah lebih dulu berangkat ke kantor. Papa ku seorang Dirut di salah satu perusahaan swasta ternama di Indonesia dan mama punya bisnis butik busana muslimah yang sangat terkenal di kota ku sejak 7tahun belakangan ini. Rumah selalu sepi. Hanya tinggal aku, bik ida dan mang jaja. Dan jika aku ke kampus, tinggal bik ida dan mang jaja saja dirumah. Aku hanya anak tunggal. Tidak ada kakak apalagi adik. Sepi memang. Tapi aku berusaha untuk dapat menikmatinya walau kadang tak munafik, rasa kesepian itu selalu hadir.

Well, ku lihat jam ditangan ku telah menunjukkan pukul 8 kurang 10 menit. Cepat-cepat ku habiskan makanannya. Lalu langsung saja aku ambil tas, dan pergi. "Bik ida... Tutup pintunya. Aku pergi ke kampus dulu. Assalamualaikum..." Teriakku memanggil bik ida sambil memasang sepatu. "Waalaikumussalam den fajar..." Terdengar samar-samar bik ida menjawab salam ku.

Sengaja hari ini aku tidak mengendarai si ninja(motor)ku untuk berangkat ke kampus. Ya lagi pengen saja...
Aku berjalan ke depan lorong untuk mendapatkan angkot. Ku lihat di lorong jalanan itu penuh dengan adik-adik kecil yang sedang asik bermain. Ibu-ibu yang membersihkan halaman rumahnya. Sesekali mereka menoleh ke arah ku. Dan aku pun tersenyum sambil mengucapkan salam. Aku merasakan hal yang sangat beda. Aku tak pernah merasakan tenang setenangnya seperti pagi ini.

Akhirnya aku sampai juga di depan lorong jalan rumahku. Aku berdiri dipinggir jalan, dengan beberapa orang, sambil menunggu angkot datang. Tak lama kemudian. "Braaakkkkk" Ku dengar suara itu melintas di gendang telinga ku, sepertinya ada peristiwa kecelakaan. Sontak saja aku mencari sumber suara itu, lalu aku dan beberapa orang yang ada di sekitar jalan itu pun langsung mendekat ke TKP.

Sesampai ditempat itu ku lihat seorang anak kecil laki-laki sedang menangis dengan sesekali teriak "Ayah... ayah... ayah...". Ternyata itu adalah anak dari pengemudi motor yang tetabrak truk besar itu. Anaknya memakai seragam sekolah dasar sekitar kelas 2.

Aku dan bapak-bapak yang ada disana. Langsung saja membawa bapak dan anaknya tadi ke rumah sakit untuk segera di obati lukanya. Dan sebagian bapak-bapak lagi akan mengurusi motor bapak tersebut dan sopir truk tadi serta membawanya ke kantor polisi untuk segera diminta keterangan.

Saat di jalan anak laki-laki itu terus menangis. "Sabar dik. Ayahnya pasti akan sembuh... Cup jangan nangis lagi. Kita doain saja ya ayahnya". Aku menenangkannya, sembari menghapus air matanya.

Akhirnya sampai juga kami dirumah sakit. Langsung saja ku panggil suster yang ada untuk membawakan ranjang dorong untuk pasien. Secepatnya suster itu pun melangkah ke arah kami.

Hari sudah semakin siang. Tinggal aku dan anak laki-laki ini saja yang masih ada di rumah sakit. Bapak-bapak yang ikut menghantarkan tadi, mereka sudah ada kerjaan masig-masing. Kemudian tiba-tiba Hp ku berbunyi, ternyata Fahri yang menelpon ku. Fahri adalah teman sekelasku dan sudah ku anggap juga sebagai sahabat, karena sudah sedari SMA kami berteman.
Fahri: "Assalamualaikum jar"
Aku: "Waalaikumussalam..."
Fahri: "Kamu dimana? Tumben jam segini belum sampe kampus. Dan pas mata kuliah pak guntur tadi kamu nggak masuk dan nggak ada kabar lagi. Kamu sakit?"
Aku: "Nggak koq ri, aku nggak sakit. Oya hari ini aku bolos kuliah dulu ya..."
Fahri: "Loh ada apa? nggak biasanya kamu kayak gini."
Aku: "Makanya kalau orang belum selesai ngomong itu jangan di potong dulu" dengan sedikit nada tinggi...
Fahri: "Hehe... iya.iya maaf. Emang ada apa?"
Aku: "Nah gitu. Jangan dipotong pokoknya ya... Aku lagi dirumah sakit ri. Tadi saat aku lagi mau berangkat ke kampus. Ada tragedi kecelakaan, korbannya bapak dan seorang anak kecil. Bapakanya yang luka parah. Ini lagi di tangani oleh dokter. Aku sekarang lagi menunggu keluarganya tiba ke rumah sakit. Kasihan anaknya. Nangis terus dari tadi."
Fahri: "Innalillahi... O gitu. Baiklah jar nanti aku izinkan. Dan catatannya aku ku hantarkan ke rumah mu nanti. Kalau kamu butuh bantuan aku, cepat hubungi aku ya."
Aku: "Nggak usah diizinkan juga gpp ri. Heee. Sekali-sekali bolos... Oke siap bos. Terimakasih sebelumnya"
Fahri: "Ah kamu ini... Ya. Sip. Assalamualaikum..."
Aku: "Waalaikumussalam..."

Tak lama kemudian sekitar pukul 10.00wib, ku lihat wanita parubaya berwajah cemas dan seorang anak laki-laki remaja, serta lelaki tua yang rambutnya sudah memutih namun masih kuat kelihatannya. Mereka berjalan mengarah ruang yang kami sedang tunggu. Saat adik kecil itu menoleh ke arah kanan, "Bunda...bunda" Pekiknya sambil menangis dan memeluk wanita parubaya tadi. Ternyata itu ibunya dan istri dari bapak yang kecelakaan itu. Aku pun langsung berdiri dan mendekati mereka.

Mereka sepertinya dari keluarga yang kurang mampu. Karena aku melihat dari Hp yang di pegang ibunya dan dari pakaian mereka. Maaf bukan maksud aku untuk menilai orang dari penampilan.

Setelah berbincang-bincang ternyata benar dugaan ku. Mereka memang berlatar belakang keluarga yang kurang mampu. Bapaknya adalah seorang tukang ojek biasa dan ibunya adalah ibu rumah tangga dan kadang-kadang membuka jasa untuk cuci baju, jika ada yang butuh. Anak laki-lakinya yang remaja baru masuk SMA. Dan lelaki tua itu adalah bapak dari ibunya. "Haaaa..." Aku menghela nafas panjang.
Dan ku langkahkan kaki berjalan mengarah ruang administrasi. Ku tanya berapa biayanya kepada kasir... Ternyata lumayan besar. Saat ku lihat uang di dompet ku hanya tinggal 300rb. Aku izin sebentar pergi ke ATM di dekat parkiran untuk menarik uang.
Setelah ku tarik uang dari ATM aku langsung masuk lagi ke ruang administrasi. Ku bayar lunas biaya perawatannya. Lalu tanpa menemui mereka lagi aku langsung pergi.

Ku lihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 11.45wib. Tandanya beberapa menit lagi sholat zuhur akan tiba. Ku cari masjid di sekitaran rumah sakit. Alhamdulillah akhirnya ketemu juga. Masjid Al-Muhajirin. Ya itu nama masjidnya. Aku pun sholat mengikuti di shaff kedua. "Masya Allah ramainya yang sholat. Hampir penuh masjidnya. Yang perempuan di belakang pun mengikuti." Aku berucap dalam hati, sembari tersenyum.
Seusai sholat ku ambil quran saku ku. Quran kecil yang selalu ku bawa kemanapun aku pergi. Aku pun membacanya. Hanya sampai 4 halaman aku membacanya. Dan aku langsung bergegas pergi. Sampai dipintu masjid ada anak-anak yang sedang menyemir sepatu ku. Aku tersenyum, kupandangi wajahnya dan ku sodorkan uang di tangannya. "Terimakasih kak..." ucapnya polos.
"Ya sama-sama". jawabku. Tampaknya ia sangat senang menerima uang pemberian ku itu dan langsung pergi.

Matahari seolah berada dekat diatas kepala ku. Karena hari itu sangat panas. Sepertinya matahari sedang menguji ku. Hhi...
"Krik...krik" ku rasakan alien-alien kecil di dalam perut ku sudah memberontak. Tak lama-lama lagi. Aku langsung singgah ke warteg yang ada disitu. Karena sudah biasa aku dan fahri makan di warteg. Tapi kalau mama tahu. Ia akan marah. Maaf ya ma...
Saat makan di warteg aku selalu memesan makanan yang jarang sekali ada di rumah ku. Seperti pergedel jagung, sayur kangkung, lalap timun, sambel terasi, dan tidak lupa dengan ikan asinnya. Makanan-makanan itulah yang aku pesan. Aku pun sangat menikmati makan siang ku itu.

Setelah makan selesai, perutpun jadi kenyang. Aku pun melanjutkan perjalanan ku. Aku tidak tahu mau kemana. Di dalam benak ku berkata "Karena sudah bolos kuliah. Sekalian saja ku nikmati hari ini dengan jalan-jalan mengitari sudut kota. Hee"
Aku berjalan menuju arah menteng. Ku lihat di situ banyak anak-anak gank motor Cross. Aku percaya diri saja mendekati mereka. Tanpa berfikir ulang apakah mereka akan mencelakakan ku atau tidak. Ah bodoh, aku kan nggak ngapa-ngapain juga. Fikir ku singkat.

"Siang bro..." Ku coba sapa mereka.
"Ya siang juga. Lu siapa? Dan ada perlu apa lu kesini?". Salah seorang dari mereka bertanya pada ku. Dan mereka agak merasa asing atas kedatanganku.
"Hee. Nggak ngapa-ngapain. Tadi nggak sengaja saja aku lewat jalan ini dan melihat kalian... Oya perkenalkan nama ku Muhammad Fajar Ikhsan. Panggil saja fajar" Aku memperkenalkan nama ku kepada mereka sembari menyodorkan tangan ku kepada mereka.
"Ooo. Gitu. Baiklah.... Oke kenalin gue dito, yang ini zacky, ini martin, ini supri biasanya dipanggil kuplek, ini bimo, ini hardi, dan yang ini jupri."
"Kayaknya lu bukan anak sini ya?" tanya martin pada ku.
"Ya memang. Aku tinggal di cakung" Jawabku.
"Kenapa lu bisa kesini. Kayaknya lu berjalan kaki ya?". Tanya zacky.
"Hehe. Panjang ceritanya... Aku sendiri juga bingung" Jawabku. Sambil sedikit tertawa.
Kami pun bercerita layaknya teman yang baru saja kenal. Dan banyak yang kami bahas dan hal-hal aneh yang aku tanyakan kepada mereka.

Tibalah azan sholat ashar dikumandangkan. Aku bertanya dengan mereka dimana posisi masjid itu.
Jupri dengan sigap menjawab "disana jar..."
jupri menunjuk ke seberang jembatan.
"kalau lu mau kita hantar. Yokkk naik" kata zacky menawarkan...
"O nggak usah repot-repot..."
"Nggak lah. Nggak repot, ayo naik. Cepet"
Akupun tak bisa menolak tawaran dari mereka.
Akhirnya kami pun tiba tepat di depan masjid. Aku sengaja tidak menawarkan mereka untuk sholat. Tapi ternyata mereka pun singgah dan ikut sholat juga. Kecuali martin. Karena martin beragama katolik.
"Tin disini dulu ya. Nggak apa-apakan..." Dito berkata pada martin.
"Yaelah bro. Biasa aje kali. Sudah pergi sholat sono. Yang khusyuk ya..." Jawab martin.
Aku tersenyum, sungguh luar biasa pertemanan ini. Saling melengkapi satu sama lain. Tidak membedakan ras. Dan saling mendukung akan hal ibadah. Aku dapat pelajaran dari mereka. Walaupun mereka anak motor, tapi mereka tidak pernah meninggalkan rabbnya, rabb yang telah menciptakan mereka. Good...

Seusai sholat aku pun pamit dengan mereka. Mereka menawarkan untuk di hantar pulang oleh mereka. Tapi kali ini aku menolaknya. Karena mengingat rumah ku yang jauh. Akhirnya aku pun pergi dan berjalan mengarah jalan raya untuk mendapatkan metro mini. Yang akan ke arah kota tua.
Setelah sampai di kota tua. Aku menuju stasiun kereta api, membeli tiket jurusan cakung. Di dalam kereta aku melihat seorang nenek tua yang sedang kebingungan. Lalu ku dekati beliau. Ku tanya "Kenapa nek? Kelihatannya nenek sedang bingung"
Nenek: "Iya aku sedang mencari cucu ku. Tapi aku tidak dapat melihat anak muda."
Aku pun bingung hendak kemana aku akan mencari cucu nenek ini. Sedang kereta ini sudah melaju. Saat aku memasuki gerbong demi gerbong. Aku melihat anak kecil yang lagi membeli pop mie di gerbong belakang. Langsung saja ku tanya, "Dik pop mie nya beli 2. Yang satunya lagi untuk siapa?"
"Untuk nenekku"... Jawabnya. Aku tambah yakin sepertinya ini cucu dari nenek tadi. Sebenarnya bisa saja ia memesan pop mie itu. Dan dihantarkan. tapi ia takut nanti pramugarinya bohong katanya. Karena ia hanya punya uang segitu. Dan takut pramugarinya salah orang untuk di kasih. Nanti nenekku jadi nggak bisa makan pop mie. Hehe... Fikiran anak kecil. Setelah ku antar ia kepada neneknya. Hati kecil ku berkata, "Sungguh mulianya hati anak ini. Rasa kasih sayang sudah ia miliki sejak dini. Terbukti perlakuannya kepada neneknya tersebut. Aku yang sudah berumur 19tahun ini...............Hee" Lalu aku pun tersenyum sendiri sembari melihat pemandangan yang sangat indah itu.

Tak terasa aku pun telah sampai di cakung. Aku mencari masjid di sekitaran stasiun, untuk sholat magrib. Karena sudah 20menit azan magrib berlalu saat aku masih di dalam kereta tadi. Akhirnya ketemu juga dengan masjidnya, tidak jauh dari stasiun.

Karena dari satasiun ke rumah ku itu jaraknya tidak terlalu jauh. Jadi ku putuskan untuk melanjutkan sholat isya dulu di masjid ini. Tidak lama lagi juga akan masuk waktu isya. Fikirku...

Saat selesai membaca al quran. Aku sedikit terkejut. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang, seraya berkata "Pemuda, silahkan kumandangkan azan. Sudah masuk waktu isya nya". Ternyata itu seorang bapak yang meminta ku untuk mengumandangkan azan. "Oya baiklah pak" Jawabku... "Allohuakbar... Alloh...huakbar............................................ Laaillahailallah..." Lalu kami pun sholat, dan bapak yang meminta ku untuk azan tadi menjadi imam kami.
Setelah doa... kami bersalam salaman. Dan aku melanjutkan aholat sunah ba'diyah isya 2 rakaat.

Tak lama kemudian saat aku ingin memakai jaket dengan maksud langsung pulang. Bapak tadi berjalan mengarah ku dan duduk tepat dihadapan ku. "Kamu mahasiswa?" Tanyanya.
"Iya pak", jawabku sambil tersenyum.
"Ooo. Kuliah dimana? Jurusan apa? Semester?" tanyanya lagi.
"Di UNJ pak. Jurusan FKIP Fisika, baru semester 3. Hee"
"Oya masih lama berarti lulusnya, manfaatin kuliah dengan sebaiknya, karena masih banyak mereka yang berkeinginan kuliah tapi tidak ada biaya. Cita-cita mereka untuk dapat kuliah pun kandas. Jadi bersyukurlah, karena masih di kasih kesempatan untuk kuliah. Benar-benar manfaatin, jangan sampai membuat kecewa kedua orang tua yang telah membiayai perkuliahan kita dan segala kebutuhan hidup kita selama kita sampai dengan sekarang. Setiap sholat jangan lupa untuk menyelipkan doa untuk mereka berdua. Saya juga punya anak laki-laki seumuran kamu. Dia sekarang kuliah di UGM Yogyakarta, jauh dari keluarga. Itulah saat saya melihat kamu. Saya teringat dengan anak saya." Ucapnya. Ku lihat tatapan matanya tersimpan kerinduan yang paling mendalam kepada anaknya yang sedang menuntut ilmu di kota pelajar.
"Oya pak insya Allah... Terimakasih pak atas nasihatnya." Kata ku sambil melontarkan senyuman padanya. Dan pamit pulang. Karena waktu sudah mengarah pukul 8 malam. Kami bersama keluar dari pintu masjid. Ternyata rumah bapak itu persis di sebelah masjid itu. Dan aku pun melambaikan tangan sambil mengucap salam untuk kedua kalinya.

Ku lihat pangkalan ojek ada di seberang jalan. Aku kesana dan memesan 1 ojek untuk menghantarkan ku pulang ke rumah, "Jalan tombak no 9 ya pak"... Kami pun melaju.
Akhirnya sampai juga di rumah tercinta... "Ini pak"... Ku berikan uang kepada bapak tukang ojeknya. "Oya terimakasih", "iya sama-sama pak. Hati-hati".

"Ting nong. Ting nong" Aku menekan bel rumah.
Bik ida pun keluar. "Assalamualaikum bik..." Sapa ku pada bik ida. "Eh den fajar. Waalaikumussalam... Masuk..masuk..."
Ku lihat papa dan mama sudah pulang. Dan sudah duduk di meja makan menungguku pulang. Untuk makan malam bersama. "Tumben. Biasanya menjelang pukul 10 malam, baru ada dirumah" gumamku dalam hati. Ah tapi sudahlah... Aku pun mendekati mereka dan mencium tangan mereka sambil mengucap salam.
Selesai makan aku langsung pergi ke kamar. Dari tangga sampai masuk kamar aku hanya dapat tersenyum dengan kejadian-kejadian yang sudah ku lalui pada hari ini. Ku hidupkan lampu kamar ku. Ku letakkan tas di sudut kanan meja belajarku, dan ku lihat ada 2 buku catatan. Ku lihat namanya Muhammad Fahri Akbar. Aku tersenyum ternyata sahabat ku memang benar-benar orang yang menepati janji dan pengertian.

Hari ini aku memang tidak mendapatkan pelajaran dari kuliah. Tapi selama 12 jam ini aku telah mendapatkan pelajaran tentang kehidupan. Selama ini aku yang selalu merasa kesepian, kedua orang tua yang selalu sibuk dengan urusan kantornya, ingin ini itu bisa aku dapatkan, tapi entahlah aku belum dapat menemukan ketenangan itu. Dan hari ini ternyata aku menemukan jawaban dari semua kegamangan ku selama ini. BERSYUKUR... Ya bersyukur... sepertinya aku belum sepenuhnya bersyukur kepada Allah Swt selama ini. Aku selalu merasa kurang dan mengeluh. Padahal aku punya sahabat yang sangat care dengan ku. Bik ida yang selalu ada membantu ku dalam hal apapun serta mengajari ku agar aku dapat mandiri. Mang jaja yang selalu siap jika aku minta temani nonton bola begadang sampai tengah malam dan mau diajak main PlayStation. Papa mama yang sibuk dikantor bukan berarti tidak menyayangi ku. Tapi mereka kerja dari pagi dan sampai malam. Itu semua hanya untukku. Dan aku harus memahami itu. Buktinya tadi mereka menunggu ku untuk mengajak makan malam.

Kejadian pada hari ini benar-benar membuat ku tersadar betapa indahnya hidup ini jika aku dapat menikmati setiap apa-apa saja yang telah Allah berikan kepada ku. 12 jam telah menyadariku. Semua yang ku lewati selama 12 jam ini adalah rencana Allah. Aku yakin itu. Tidak ada yang kebetulan...
"Fabiayyi alaa irobbikumaa tukadzzibaan"... Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?...

Selasa, 15 Desember 2015

Merindukan Keharmonisan Itu Kembali

Kebahagian adalah saat dimana kita dapat berkumpul dengan keluarga inti kita, ada ayah, ibu, kakak dan adik kita, dan di dihiasi dengan cinta serta kasih sayang didalamnya. Ya, itulah arti sederhana kebahagiaan bagi ku.

Saat ku kecil aku sangat benar-benar merasakan kebahagian yang utuh dari keluarga ini. Hari demi hari kami jalani dengan canda tawa. Seakan dunia ini hanya milik keluarga kami saja. Ku ingat saat itu kami sekeluarga pergi ke sawah milik kelurga kami. Aku yang saat itu berumur 6 tahun dan baru masuk sekolah dasar kelas 1 dan kak khomsah kelas 4 sekolah dasar.

Aku berlari kesana kesini mengitari padi-padi yang sangat hijau, ditambah lagi dengan langit yang cerah diatas kepala ku. Matahari yang seolah tersenyum melihat tingkah ku. Memancarkan hangatnya pagi agar kami tetap bersemangat memulai aktivitas. Kebetulan hari itu hari minggu. Aku dan kak khomsah kakak ku yang kedua, libur sekolah. Ibu yang memang kami pinta untuk duduk saja di pondok seberang sawah sembari menyiapi makan siang untuk kami makan. Serta menjaga adik yang masih  berumur 2 tahun namanya zaenab dan kakakku yang pertam, salwa namanya.
Oya kakakku yang pertama itu sakit. Ia sudah sakit dari masih bayi. Kata ibuku waktu masih bayi kakakku itu sering sekali terkena sakit step. Panas yang tinggi sekali sehingga meradang ke otaknya. Sampai sekarang tidak dapat lagi disembuhkan. Ibu dan ayah sudah berusaha untuk penyembuhan kakak. Tapi tetap saja hasilnya sama. Sekarang hanya dapat memberinya obat herbal agar ia dapat terlihat segar dan sehat. Namun walau kakakku ada gangguan pada otaknya, sesekalipun ia tidak pernah memberontak. Ia tidak menyusahkan ibu dan ayah. Malah beliau sering bantu pekerjaan-pekerjaan ibu yang ringan.

Ku lihat ayah dan kak khomsah yang sedari tadi menanam bibit padi. Dan aku yang hanya dapat bermain-main. Tapi sesekali aku ke pondok untuk mengambil minum buat ayah dan kak khomsah. Agar mereka tak bolak balik. Jadi biar aku yang jadi relawannya. Hhii

Tidak lama kemudian..."Yeee. Akhirnya selesai juga ya yah..." Ucap kak khomsah kepada ayah. Sembari membereskan cangkul dan alat penyiram padi."
"Ya alhamdulillah..." Saut ayah sambil merangkul kakak untuk berjalan ke arah pondok yang disana ada ibu, kak salwa dan zaenab. Yang sudah dari tadi menunggu...

"Zahra... Kemarilah. Stop dulu mainnya. Ayo sini kita makan siang dulu." Ibu memanggilku...
"Iya buk........" Sautku dari kejauhan. Sambil membawa ranting pohon yang ku gunakan untuk main pancing-pancingan. Yang mata pancingannya hanya pakai batu... Heee.

Seusai makan. Kami pun pulang ke rumah. Dan pas saat kami tiba di rumah azan sholat zuhur pun berkumandang. Ayah menyuruh kak khomsah dan aku untuk bersih-bersih badan dan langsung ambil wudhu.

Aku sangat bahagia hidup di tengah keluarga ini. Walaupun kami hidup dengan keadaan yang cukup dalam segi materi. Tapi kami selalu bersyukur dan ayah selalu membimbing istri serta anak-anaknya untuk selalu beribadah kepada Alloh yang menciptakan alam semesta ini. Serta selalu memberikan nikmat kepada kita.
Aku yang baru brrumur 6 tahun pun sudah ayah ingatkan untuk tidak meninggalkan sholat wajib lima waktu dalam sehari. Walaupun aku baru proses belajar.

Kenyamanan yang ku rasakan di dalam keluarga ini. Dari aku kecil sampai dengan aku sudah mulai sekolah. Aku tidak pernah melihat pertengkaran yang terjadi dalam rumah ini. Keluarga yang sangat harmonis dapat dikatakan.

Setiap pagi ayah selalu menghantar jemputku ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor kesayangannya. Aku memang sangat dekat dengan ayah. Kemana ayah pergi aku pasti ikut. Begitupun ayah. Ayah tidak pernah absen dan merasa lelah untuk selalu menghantar jemputku ke sekolah setiap hari bersama dengan kak khomsah.

---

Di saat aku sudah memasuki kelas 4. Dan kak khomsah masuk ke tingkat menengah pertama. Kami pindah rumah. Kami pindah ke kota. Sawah-sawah kami pun akhirnya di jual. Kata ayah kita harus pergi ke kota. Untuk hidup yang lebih baik lagi.

Aku sangat sedih meninggalkan desa dan rumah lama ku. Tapi apa boleh buat. Mungkin ayah benar saat kita sudah menetap di kota hidup kita akan lebih baik lagi.

Aku dan kak khomsah masuk ke sekolah yang baru. Seperti biasa ayah selalu menghantar jemput kami. Tapi karena kak khomsah sudah SMP. Jadwal mata pelajaran pun bertambah. Jadi ayah meminta kak khomsah untuk naik ojek setiap pulang sekolahnya. Aku masih tetap di hantar jemput ayah karena saat ayah istirahat kerja ayah akan langsung menjemputku. Kalau di desa pekerjaan ayah adalah sebagai petani. Ketika sudah pindah ke kota ayah bekerja sebagai buruh bangunan.

Tak ada yang spesial ternyata kehidupan di kota. Sangat beda saat masih di desa dulu. "Andai dapat kembali lagi ke desa..." Ucap ku dalam hati. Sambil memandangi jalan dari bilik jendela. Lalu lalang kendaraan, yang tidak sedikit juga debu-debu yang beterbangan di jalan itu masuk ke rumah kami. Maklum posisi rumah memang berdepanan dengan jalan raya. Sangat beda dengan kehidupan di desa. Yang setiap hari dapat menghirup udara segar. Pemandangan yang indah, lingkungan yang arsi dengan pepohonan, serta ilalang yang selalu menghiasi jalan kami saat akan pergi ke sekolah, ke sawah dan pulang ke rumah.

"Wek... Wek... Wek..." Seketika suara itu menghentikan lamunanku dan membuat aku panik dengan suara itu. "Suara apa itu? Dan kenapa?" tanya ku dalam hati. Sembari melangkahkan kakiku ke arah suara tersebut. Dan ternyata itu ibuku. Beliau memang dari semalam kurang enak badan. Aku langsung memanggil kak khomsah... "Kak khomsah. Kak... Ke dapur sebentar... ibu". Pekikku memanggil kak khomsah sambil memegangi tangan ibu.

Saat kak khomsah tiba. Aku mengusulkan ibu untuk diperiksa ke klinik di dekat rumah ku. Entahlah, padahal saat itu umurku masih 9 tahun. Tapi layaknya orang dewasa aku berfikir dan berkata. Serta sudah dapat memberikan solusi.

Aku dan kak khomsah akhirnya membawa ibu ke klinik yang tidak jauh dari rumahku itu. Aku coba menghubungi ayah menggunakan Hp ibu. Tapi tidak ada juga jawaban. Dari semalam ayah tidak pulang. Tidak seperti biasanya. Ku ulangi lagi. Namun tida tersambung. Ketiga kalinya nomornya berada diluar jangkauan. Akhirnya aku kembali ke ruang tunggu sambil menunggu ibu dan kak khomsah ke luar.

Tak lama kemudian. Ibu dan kak khomsah pun keluar. Aku pun mendekati mereka "Gimana dok keadaan ibuku?" Tanya ku kepada dokter yang menangani ibu ku saat itu.
Dokter itu tersenyum dan memegang kepalaku, "Tidak apa-apa ibu mu hanya kelelahan saja. Karena bawaan dari kehamilannya yang sudah memasuki usia 3 bulan itu. Di jaga ya ibunya jangan sampai kelelahan. Karena akan mempengaruhi janin yang didalam perutnya."
Aku pun terkejut serta bahagia. Ternyata ibuku sedang mengandung calon adik bayiku. Dengan perasan senang kami pun pulang ke rumah.

---

Sudah 3 hari berlalu ayah pun tak kunjung menampakan batang hidungnya. Padahal aku dan keluarga sangat rindu dengan ayah. Karena sebelumnya aku tidak pernah pisah dengan ayah.
Ku tanya pada ibu, "Buk ayah dimana? Kenapa ayah tidak pulang sudah 3 hari ini?".
Saat itu aku dan ibu sedang ada di dapur untuk menyiapkan bahan jualanan untuk esok pagi. Semenjak tinggal di kota tersebut. Ibu juga mencoba untuk jualan kue. Dan pagi-pagi kami yang menaruhnya ke warung-warung dan sebagian lagi kami bawak ke sekolah untuk di jajahkan.
"Ayah lagi cari uang... Insya Allah akan pulang secepatnya". Hanya itu yang keluar dari bibir indah ibuku. Aku pun melanjutkan bantu ibu menyelesaikan pekerjaannya.

---

Saat kehamilan ibu memasuki 7 bulan. Yang tandanya sudah 4 bulan ayah meninggalkan kami.

Dan disaat itu juga tiba-tiba ada yang menggedor pintu rumah kami, teryata itu ayah, ya ayah pulang ke rumah. Aku yang paling menanti kehadiran ayah. Dan sangat antusias saat mendengar ayah pulang. Aku langsung keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. "Hore... Ayah pulang. Ayah pulang" teriakku sambil lari menuju ruang tamu.
Tapi itu tidak aku harapkan sama sekali sebelumnya akan terjadi dalam hidupku.

Ayah pulang dengan membawa seorang perempuan yang sedang menggendong bayinya, kira-kira usia bayi perempuan tersebut sekitar 4 bulanan. Aku sangat terkejut dan terperangah. Mana lagi teriakan kak khomsah yang membuat ku tambah bingung, "Tidak usah ayah pulang lagi ke rumah ini. Ayah sudah tidak menyayangi kami lagi. Untuk apa ayah ada disini. Kami tidak membutuhkan ayah. Pergi yah... Pergi..." aku dan ibu mencoba menahan kak khomsah yang ingin memukul ayah.
"Sudah nak. Sudah." Ucap ibu kepada kak khomsah. Sambil memegang perut besarnya.
Kemudian ibu mendekati ayah dan perempuan serta anak bayi tersebut. Lalu ibu menyuruhku untuk mengajak kak khomsah masuk ke kamar.
Entah apa yang ibu bicarakan dengan mereka. Dan saat selang waktu berapa jam aku mencoba melihat ke ruang tamu. Tak ada lagi tanda-tanda penghidupan disana. Ayah, Ibu, perempuan dan bayinya itu tidak ada lagi di ruang tamu. Kemudian aku mendekati kamar ibu. Ku lihat ibu saat itu sedang menangis.
Karena aku penasaran. Ku dekati ibu. Saat ibu melihat ku cepat-cepat di hapusnya air mata yang sedari tadi jatuh dari matanya.
Lalu akupun bertanya, "siapa perempuan yang membawa bayi tadi? Dan kenapa ayah membawanya? Terus sekarang ayah kemana lagi buk?" layaknya anak kecil yang polos lagi meminta keterangan atas sesuatu hal yang baru saja ia lihat barusan.
Ibu pun mengambil tangan ku dan merangkul ku di dalam pelukkannya. Sembari menjelaskan sedikit demi sedikit pada ku.

Setelah mendengar semua penjelesan dari ibu. Akhirnya aku mengerti mengapa kak khomsah sebegitu marahnya kepada ayah. Padahal dulu waktu masih di desa di rumah lama. Kak khomsa dan ayah sangat akur apalagi saat sedang di sawah.

Seolah aku tak percaya. Keluarga ku yang dulu harmonis sekarang berubah menjadi dramatis. Sosok ayah yang ku kagumi sekarang ia sudah pergi dengan keluarganya yang baru. Alangkah kuatnya ibuku. Ibuku seharusnya sudah tahu dari awal kenapa ayah ingin kita sekeluarga pindah ke kota. Yaitu agar dapat menemui perempuan tersebut. Kata ibu ayah mengenal perempuan itu karena ia adalah pelanggan tetap kami. Ia membeli beras kami setiap kali panen. Ia memang pengusaha. Ia memiliki toko barang-barang manisan. Di saat itulah ayah dan ia bertemu untuk pertama kalinya dan saling komunikasi.

"Aduhai... Alangkah kuatnya ibuku ini. Sampai-sampai menutupi semuannya dari kami"... Kata ku dalam hati sembari memandangi wajahnya yang tetap tersenyum walau dalam penderitaan.

---

Hari ini aku dan kak khomsah bersama paman danu juga. Paman danu itu adalah adik kandung dari ibuku. Kami menghantarkan ibu ke rumah sakit persalinan ibu dan anak. Karena saatnya ibu melahirkan. Ku pandangi wajah ibu. Ku semangati beliau... Sembari memimpinnya untuk tak henti berzikir. Karena ayah tidak ada. Jadi aku dan kak khomsah diizinkan untuk berada dalam ruangan menemani ibu saat proses persalinan berlangsung.

"Oek. Oek. Oek..." suara yang di tunggu-tunggu itupun tiba.
"Alhamdulillah... Akhirnya aku punya adik baru lagi. Yeee. Laki-laki pula." Kataku sambil kegirangan. Karena kami dirumah perempuan semua. Itulah sebabnya aku senang saat dokter berkata kalau jenis kelamin adikku laki-laki. Prosesnya pun berjalan dengan baik dan dipermudah... Terimakasih Ya Rabb...

Setelah di bersihkan. Paman di pinta untuk masuk ke ruangan untuk mengazankan adikku. Setelah itu pemberian nama juga, agar tembuninya langsung di tanam. Ibu menyerahkan pemberian nama itu kepadaku. Terserah aku mau kasih nama apa kata ibu.
Akhirnya langsung saja spontan ku sebut "Muhammad Bilal". Yah Muhammad Bilal. Itulah nama adik laki-laki ku.

Setelah agak sehatan ibu dan adik bayiku pulang ke rumah. Aku sangat berharap ayah datang sekali saja melihat anak laki-lakinya itu. Tapi apa mau di kata. Harapan hanyalah tinggal harapan ayah tidak lagi peduli dengan kami. Simpulku saat itu.

---

Aku pun beranjak dewasa. Tepatnya waktu SMA. Ayah pernah mengirim uang kepada kak khomsah. Tapi kak khomsah berikan kepada ibu. Kak khomsah amat sangat membenci ayah.
"Ternyata ayahku masih hidup... Aku ingin bertemu dengannya". Gumam ku dalam hati.

Setiap orang bertanya tentang ayah. Sedih rasanya lagi-lagi aku harus mengatakan bahwa ayahku telah meninggal. Padahal aku sendiri tidak tahu. Apakah ia masih hidup atau tidak.

---

Tibalah dimana hari perpisahan sekolah. Rasanya iri sekali melihat teman-temanku, mereka datang bersama dengan ayah dan ibu. Tapi ahhh sudahlah. Tak perlu risau aku fikirkan. Karena aku masih punya ibu, kak salwa, kak khomsah, zaenab dan bilal.

Kemana-mana aku selalu sendirian. Mengurus semua yang berkaitan dengan hidupku. Sebisa mungkin aku lakukan dengan sendirian. Seperti saat pendaftaran masuk kuliah. Aku beranikan diri untuk merantau ke kota orang hanya demi sebuah cita-cita. Aku ingin kuliah. Dan aku harus kuliah. Alhamdulillah aku di terima di salah satu perguruan tinggi negeri di Palembang. Uang kuliah piur aku pakai uang tabungan sendiri. Uang hasil jualan kue ku saat masih SD sampai SMA dulu.

Untuk tempat tinggal aku tidak susah payah untuk membayar kontrakan. Paman danu adik ibuku sekarang menetap dipalembang. Jadi aku tinggal di tempatnya. Akupun tahu diri.
Setiap jam 3 pagi paman dan bibi ku pergi ke pasar untuk berjualan segala macam sayur mayur. Dan dirumah tinggal aku dan anak-anaknya. Tugas ku lah yang menjaga anaknya dan membereskan rumahnya. Begitulah rutinitas yang selalu aku kerjakan dirumah itu.

Waktu dulu semester 1 sampai 5 aku melanjutkan kegemaran ku berjualan kue. Setiap istirahat. Pasti langsung ludes. Hitung-hitung buat tambahan ongkos pergi pulang ke kampus.

---

Ketika itu aku berdiri di depan mading fakultas ku, tiba-tiba ada dosen yang mendekati ku. "zahra..."
"O.iya pak... Ada apa?" jawabku... Ternyata itu pak teguh. Dosen pelajaran bahasa Indonesia ku.
"Kegiatanmu selain kuliah apa saja?. Spontan saja langsung ku jawab. "Selain kuliah. Aku ikut organisasi pak. Dan jualan seperti ini." Ku tunjukan tas kresek yang di dalamnya ada wadah jajahan kue ku.
"O gitu. Bapak lagi cari guru mengaji buat anak bapak. Kira-kira kamu berminat?" pak teguh bertanya kepadaku.
Awalnya aku ragu. Tapi aku fikir tidak apa juga. Kan berbagi ilmu hitung-hitung. Bekal ilmu mengaji yang ku dapat dari ayah pun masih ku ingat.
Akhirnyda aku pun menjawab, "o.iya pak boleh. Insya Alloh berminat.".
"Baiklah. Kalau mau jam 3 sore ini. Kalau kamu sudah tidak ada jam kuliah lagi. Langsung saja mulai mengajarnya zahra. Ini alamat rumah saya". Ucap pam teguh, sembari memberikan kertas yang bertuliskan alamatnya.
"Siap pak... Terimakasih sebelumnya pak atas tawarannya". Ucapku pada pak teguh...

Semester 6 aku mulai tidak jualan kue lagi. Aku hanya fokus mengajar ngaji dan ada tambahan les privat 2 orang anak. Dari hasil mengajar itulah aku mencukupi biaya kuliahku sampai dengan wisuda.

Kak khomsah juga sudah tamat kuliahnya dan sekarang ia bekerja menjadi staff di pemkab tempat kami tinggal. Adikku zaenab masih kuliah di univ swasta di Palembang. Tapi hanye hari sabtu dan minggu. Hari-hari lainnya ia manfaatin untuk bekerja. Ia bekerja di SMA negeri tempat ia sekolah dulu. Sebagai staff Tata Usaha(TU). Sedang aku, aku sekarang berprofesi sebagai guru honor di Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang sebagai guru tetap mata pelajaran pendidikan agama Islam dan bahasa Indonesia. Karena aku memang menyukai bidang bahasa. Semasa sekolah sampai kuliah aku juga banyak mengikuti lomba-lomba yang berkaitan dengan tulisan. Dan sekarang aku sedang merampungkan novel ku. Insya Alloh akan terbit setengah bulan lagi.
Dan adikku bilal. Ia masih sekolah, sekarang kelas 3 SMA. Aku ingin sekali mewujudkan cita-citanya untuk menjadi polisi. Itulah sebabnya aku berusaha sekuat tenaga bekerja demi mewujudkan cita-cita adikku itu.

Tak ada kata yang dapat aku utarakan. Selain dengan mengucap syukur kepada Allah swt. Karena Dia aku dapat bertahan menjalani hidup yang keras ini. Inilah nikmat yang paling besar Allah berikan kepadaku dan kepada keluarga kami. Ibu yang masih sehat sampai dengan sekarang, dan masih sempat melihat anak-anaknya sukses.
Walau tanpa seorang ayah.
Tapi aku ingin mempertemukan adikku bilal dengan ayah. Karena dari masih dikandungan sampai ia lahir melihat dunia ini, hingga sekarang. Bilal belum pernah tahu wajah ayah. Karena saat dulu kami belum punya kamera untuk mengambil gambar. Foto-foto lama pun sudah banyak terbuang saat pindahan rumah.
Sekarang aku masih belum tahu, dimana ayahku berada.
"Ayah... Jika engkau saat ini masih hidup, aku ingin bertemu ayah dan memperkenalkan ayah dengan bilal. Bilal pengen sekali melihat wajah ayah". Aku berkata dalam hati sambil perlahan ku pejamkan mata ini yang mulai lelah. Dan aku pun tertidur. Berharap di dalam mimpi dapat bertemu dengan ayah.

-End-
Diambil dari kisah seorang teman...

Senin, 14 Desember 2015

Jangan cepat mengambil kesimpulan


Kata kebanyakan orang malam minggu adalah malamnya untuk para muda-mudi. Terbukti yang terjadi di kota bandung saat ini. Hiruk pikuk keramaian kota pun sudah menjadi ketenaran tersendiri setiap malam minggu tiba. Orang-orang berpasang-pasangan memadati alun-alun kota kembang ini. Tapi itu tidak dengan dua kakak beradik yang satu ini. Mereka adalah Denis dan Nino. Denis adalah seorang mahasiswa jurusan manajemen di kampus UPI. Ia sekarang berada di semester 3. Sedangkan adiknya Nino baru masuk SMA dan bersekolah di salah satu SMA negeri di kota bandung.

Setiap malam minggu tiba mereka berdua tidak melakukan aktivitas yang sebagaimana remaja lakukan kebanyakan. Ke luar bareng temen. Pergi nonton bioskop dengan pacar. Atau hal-hal yang remaja lain lakukan di saat malam minggu tiba. Kakak beradik ini memang tidak suka dengan gaya hidup yang seperti itu. Mereka lebih memilih untuk fokus belajar dan mengejar cita-cita mereka. Karena kedua orangtua pun menuntut mereka seperti itu. Dan mereka selalu dipantau. Namun mereka tidak merasa tertekan dengan hal tersebut. Karena menurut mereka itu adalah sikap yang wajar orangtua lakukan kepada anaknya. Agar anaknya tidak jatuh pada jurang yang salah.

Walau begitu orangtua mereka tidak pernah melarang atau membatasi anak-anaknya dalam hal hobi. Nah kedua kakak beradik ini sangat gemar dengan olahraga sepak bola. Sampai-sampai mereka mengikuti pelatihannya. Waktu masih sekolah dulu Denis sudah banyak menuai kejuaraan di tingkat provinsi. Ternyata hobi itu pun tertular pada adiknya Nino. Mereka memang selalu kompak dalam masalah hobi ini. Sampai setiap malam minggu mereka jadwalkan untuk nonton bareng pertandingan sepak bola. Dan kebetulan pada malam minggu itu ada pertandingan liga inggris antara derby manchester. Yaitu manchester united dan manchester city. Dimana kedua club tersebut adalah club favorit mereka berdua. Denis mengidolakan manchester united dan club idola Nino adalah manchester city. Cocok…

Sudah 20 menit jalannya pertandingan. Skor masih tidak berubah masih 0-0. Tiba-tiba Nino protes sendiri, “ah…. Payah sekali. Dari tadi belum pecah telurnya. Skor masih 0-0… Ayooo…”
“ya sabar kellesss.. Bola kan bulat nggak ada kaki. Jd ia mudah kesana kesini dengan menggelinding. Dan di situ banyak yang ingin memperebutkannya. Terserah bola dong mau pilih yg mana. Hehe.” Sahut Denis sambil sedikit tertawa dan menyudurkan pisang goreng bikinan Ibunya ke mulut Nino. Berharap Nino dapat tenang dan diam. Tidak berisik lagi… Lalu Nino pun tersedak-sedak dan cepat menjangkau gelas yang berisikan air putih. Karena pisang goreng tadi nyangkut di tenggorokannya. “dasarrr.” Kata Nino pada Denis. Dan mereka pun lanjut nonton.

Tak lama Kemudian, “Goaaaalll.” terdengar suara gaduh dari ruang tamu tersebut. Ternyata itu teriakan dari Denis yang girang karena tim yang ia jagokan akhirnya mencetak goal ke kandang lawan. Nino pun tak kalah histerisnya. Namun teriakan Nino itu tertuju pada penjaga gawangnya. “ahh, dasar penjaga gawang nggak becus. Nggak bagus. Masa begitu saja bisa kebobolan sih.. mmm. Menyebalkan..” Gumam Nino dengan nada yang sedikit kesal. Sambil mengunyah pisang goreng.
Kemudian Denis melihat ke arah Nino. Seolah ada yang ingin ia utarakan. Tetapi ia juga tak ingin kelewatan dari jalannya pertandingan.



Well. Akhirnya pertandingan pun selesai dengan skor 2-0. Dan lagi-lagi club jagoan Denislah yang menang. Manchester United. Lalu Denis pun langsung mendekati Nino yang masih tak terima akan kekalahan club favoritnya. “Boy. Seandainya saja yang menang tadi club jagoanmu. Apa kamu akan tetap Jengkel dengan penjaga gawangnya? Dan ngomel-ngomel seperti tadi?” tanya Denis kepada Nino sambil merangkul bahu adiknya itu.
“ya…nggak mungkinlah aku marah atau jengkel. Kan bagus berarti dia mampu menjaga gawangnya dari lawan. Hingga lawannya tak mampu untuk menjebol gawangnya.” Jawab Nino dengan polosnya.

Lalu Denis berkata kembali, “heee harusnya kita tak boleh bersikap seperti yang kamu lakukan tadi. Marah-marah nggak jelas. Kita harus objektif dong. Toh… Kita harus lihat juga perjuangan penjaga gawang sebelum-sebelumnya dalam menyelamati gawangnya dari rival. Saat club tersebut kalah bukan berarti itu kesalahan tunggal dari si penjaga gawangnya. Kita tidak boleh mengambil kesimpulan seperti itu. Jangan karena satu kesalahan maka kebaikan-kebaikan sebelumya pun kita lupakan. Begitu pun saat kita hidup bersosialisasi dengan masyarakat. Jangan sampai… Oke brother?” ucap Denis sambil tersenyum dan mengelus kepala Nino. Dengan penuh kasih sayang. Nino pun hanya dapat menganggukkan kepala dan tak dapat berkata-kata lagi. Apalagi mendengar ucapan Denis yang terakhir itu. Denis pun mengajak Nino untuk pergi tidur. Karena jam di dinding pun telah menunjukkan pukul 00.30 wib.

-End-
Tulisan dibuat pada 4 des 2015
http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/jangan-cepat-mengambil-kesimpulan.html