Selasa, 15 Desember 2015

Merindukan Keharmonisan Itu Kembali

Kebahagian adalah saat dimana kita dapat berkumpul dengan keluarga inti kita, ada ayah, ibu, kakak dan adik kita, dan di dihiasi dengan cinta serta kasih sayang didalamnya. Ya, itulah arti sederhana kebahagiaan bagi ku.

Saat ku kecil aku sangat benar-benar merasakan kebahagian yang utuh dari keluarga ini. Hari demi hari kami jalani dengan canda tawa. Seakan dunia ini hanya milik keluarga kami saja. Ku ingat saat itu kami sekeluarga pergi ke sawah milik kelurga kami. Aku yang saat itu berumur 6 tahun dan baru masuk sekolah dasar kelas 1 dan kak khomsah kelas 4 sekolah dasar.

Aku berlari kesana kesini mengitari padi-padi yang sangat hijau, ditambah lagi dengan langit yang cerah diatas kepala ku. Matahari yang seolah tersenyum melihat tingkah ku. Memancarkan hangatnya pagi agar kami tetap bersemangat memulai aktivitas. Kebetulan hari itu hari minggu. Aku dan kak khomsah kakak ku yang kedua, libur sekolah. Ibu yang memang kami pinta untuk duduk saja di pondok seberang sawah sembari menyiapi makan siang untuk kami makan. Serta menjaga adik yang masih  berumur 2 tahun namanya zaenab dan kakakku yang pertam, salwa namanya.
Oya kakakku yang pertama itu sakit. Ia sudah sakit dari masih bayi. Kata ibuku waktu masih bayi kakakku itu sering sekali terkena sakit step. Panas yang tinggi sekali sehingga meradang ke otaknya. Sampai sekarang tidak dapat lagi disembuhkan. Ibu dan ayah sudah berusaha untuk penyembuhan kakak. Tapi tetap saja hasilnya sama. Sekarang hanya dapat memberinya obat herbal agar ia dapat terlihat segar dan sehat. Namun walau kakakku ada gangguan pada otaknya, sesekalipun ia tidak pernah memberontak. Ia tidak menyusahkan ibu dan ayah. Malah beliau sering bantu pekerjaan-pekerjaan ibu yang ringan.

Ku lihat ayah dan kak khomsah yang sedari tadi menanam bibit padi. Dan aku yang hanya dapat bermain-main. Tapi sesekali aku ke pondok untuk mengambil minum buat ayah dan kak khomsah. Agar mereka tak bolak balik. Jadi biar aku yang jadi relawannya. Hhii

Tidak lama kemudian..."Yeee. Akhirnya selesai juga ya yah..." Ucap kak khomsah kepada ayah. Sembari membereskan cangkul dan alat penyiram padi."
"Ya alhamdulillah..." Saut ayah sambil merangkul kakak untuk berjalan ke arah pondok yang disana ada ibu, kak salwa dan zaenab. Yang sudah dari tadi menunggu...

"Zahra... Kemarilah. Stop dulu mainnya. Ayo sini kita makan siang dulu." Ibu memanggilku...
"Iya buk........" Sautku dari kejauhan. Sambil membawa ranting pohon yang ku gunakan untuk main pancing-pancingan. Yang mata pancingannya hanya pakai batu... Heee.

Seusai makan. Kami pun pulang ke rumah. Dan pas saat kami tiba di rumah azan sholat zuhur pun berkumandang. Ayah menyuruh kak khomsah dan aku untuk bersih-bersih badan dan langsung ambil wudhu.

Aku sangat bahagia hidup di tengah keluarga ini. Walaupun kami hidup dengan keadaan yang cukup dalam segi materi. Tapi kami selalu bersyukur dan ayah selalu membimbing istri serta anak-anaknya untuk selalu beribadah kepada Alloh yang menciptakan alam semesta ini. Serta selalu memberikan nikmat kepada kita.
Aku yang baru brrumur 6 tahun pun sudah ayah ingatkan untuk tidak meninggalkan sholat wajib lima waktu dalam sehari. Walaupun aku baru proses belajar.

Kenyamanan yang ku rasakan di dalam keluarga ini. Dari aku kecil sampai dengan aku sudah mulai sekolah. Aku tidak pernah melihat pertengkaran yang terjadi dalam rumah ini. Keluarga yang sangat harmonis dapat dikatakan.

Setiap pagi ayah selalu menghantar jemputku ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor kesayangannya. Aku memang sangat dekat dengan ayah. Kemana ayah pergi aku pasti ikut. Begitupun ayah. Ayah tidak pernah absen dan merasa lelah untuk selalu menghantar jemputku ke sekolah setiap hari bersama dengan kak khomsah.

---

Di saat aku sudah memasuki kelas 4. Dan kak khomsah masuk ke tingkat menengah pertama. Kami pindah rumah. Kami pindah ke kota. Sawah-sawah kami pun akhirnya di jual. Kata ayah kita harus pergi ke kota. Untuk hidup yang lebih baik lagi.

Aku sangat sedih meninggalkan desa dan rumah lama ku. Tapi apa boleh buat. Mungkin ayah benar saat kita sudah menetap di kota hidup kita akan lebih baik lagi.

Aku dan kak khomsah masuk ke sekolah yang baru. Seperti biasa ayah selalu menghantar jemput kami. Tapi karena kak khomsah sudah SMP. Jadwal mata pelajaran pun bertambah. Jadi ayah meminta kak khomsah untuk naik ojek setiap pulang sekolahnya. Aku masih tetap di hantar jemput ayah karena saat ayah istirahat kerja ayah akan langsung menjemputku. Kalau di desa pekerjaan ayah adalah sebagai petani. Ketika sudah pindah ke kota ayah bekerja sebagai buruh bangunan.

Tak ada yang spesial ternyata kehidupan di kota. Sangat beda saat masih di desa dulu. "Andai dapat kembali lagi ke desa..." Ucap ku dalam hati. Sambil memandangi jalan dari bilik jendela. Lalu lalang kendaraan, yang tidak sedikit juga debu-debu yang beterbangan di jalan itu masuk ke rumah kami. Maklum posisi rumah memang berdepanan dengan jalan raya. Sangat beda dengan kehidupan di desa. Yang setiap hari dapat menghirup udara segar. Pemandangan yang indah, lingkungan yang arsi dengan pepohonan, serta ilalang yang selalu menghiasi jalan kami saat akan pergi ke sekolah, ke sawah dan pulang ke rumah.

"Wek... Wek... Wek..." Seketika suara itu menghentikan lamunanku dan membuat aku panik dengan suara itu. "Suara apa itu? Dan kenapa?" tanya ku dalam hati. Sembari melangkahkan kakiku ke arah suara tersebut. Dan ternyata itu ibuku. Beliau memang dari semalam kurang enak badan. Aku langsung memanggil kak khomsah... "Kak khomsah. Kak... Ke dapur sebentar... ibu". Pekikku memanggil kak khomsah sambil memegangi tangan ibu.

Saat kak khomsah tiba. Aku mengusulkan ibu untuk diperiksa ke klinik di dekat rumah ku. Entahlah, padahal saat itu umurku masih 9 tahun. Tapi layaknya orang dewasa aku berfikir dan berkata. Serta sudah dapat memberikan solusi.

Aku dan kak khomsah akhirnya membawa ibu ke klinik yang tidak jauh dari rumahku itu. Aku coba menghubungi ayah menggunakan Hp ibu. Tapi tidak ada juga jawaban. Dari semalam ayah tidak pulang. Tidak seperti biasanya. Ku ulangi lagi. Namun tida tersambung. Ketiga kalinya nomornya berada diluar jangkauan. Akhirnya aku kembali ke ruang tunggu sambil menunggu ibu dan kak khomsah ke luar.

Tak lama kemudian. Ibu dan kak khomsah pun keluar. Aku pun mendekati mereka "Gimana dok keadaan ibuku?" Tanya ku kepada dokter yang menangani ibu ku saat itu.
Dokter itu tersenyum dan memegang kepalaku, "Tidak apa-apa ibu mu hanya kelelahan saja. Karena bawaan dari kehamilannya yang sudah memasuki usia 3 bulan itu. Di jaga ya ibunya jangan sampai kelelahan. Karena akan mempengaruhi janin yang didalam perutnya."
Aku pun terkejut serta bahagia. Ternyata ibuku sedang mengandung calon adik bayiku. Dengan perasan senang kami pun pulang ke rumah.

---

Sudah 3 hari berlalu ayah pun tak kunjung menampakan batang hidungnya. Padahal aku dan keluarga sangat rindu dengan ayah. Karena sebelumnya aku tidak pernah pisah dengan ayah.
Ku tanya pada ibu, "Buk ayah dimana? Kenapa ayah tidak pulang sudah 3 hari ini?".
Saat itu aku dan ibu sedang ada di dapur untuk menyiapkan bahan jualanan untuk esok pagi. Semenjak tinggal di kota tersebut. Ibu juga mencoba untuk jualan kue. Dan pagi-pagi kami yang menaruhnya ke warung-warung dan sebagian lagi kami bawak ke sekolah untuk di jajahkan.
"Ayah lagi cari uang... Insya Allah akan pulang secepatnya". Hanya itu yang keluar dari bibir indah ibuku. Aku pun melanjutkan bantu ibu menyelesaikan pekerjaannya.

---

Saat kehamilan ibu memasuki 7 bulan. Yang tandanya sudah 4 bulan ayah meninggalkan kami.

Dan disaat itu juga tiba-tiba ada yang menggedor pintu rumah kami, teryata itu ayah, ya ayah pulang ke rumah. Aku yang paling menanti kehadiran ayah. Dan sangat antusias saat mendengar ayah pulang. Aku langsung keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. "Hore... Ayah pulang. Ayah pulang" teriakku sambil lari menuju ruang tamu.
Tapi itu tidak aku harapkan sama sekali sebelumnya akan terjadi dalam hidupku.

Ayah pulang dengan membawa seorang perempuan yang sedang menggendong bayinya, kira-kira usia bayi perempuan tersebut sekitar 4 bulanan. Aku sangat terkejut dan terperangah. Mana lagi teriakan kak khomsah yang membuat ku tambah bingung, "Tidak usah ayah pulang lagi ke rumah ini. Ayah sudah tidak menyayangi kami lagi. Untuk apa ayah ada disini. Kami tidak membutuhkan ayah. Pergi yah... Pergi..." aku dan ibu mencoba menahan kak khomsah yang ingin memukul ayah.
"Sudah nak. Sudah." Ucap ibu kepada kak khomsah. Sambil memegang perut besarnya.
Kemudian ibu mendekati ayah dan perempuan serta anak bayi tersebut. Lalu ibu menyuruhku untuk mengajak kak khomsah masuk ke kamar.
Entah apa yang ibu bicarakan dengan mereka. Dan saat selang waktu berapa jam aku mencoba melihat ke ruang tamu. Tak ada lagi tanda-tanda penghidupan disana. Ayah, Ibu, perempuan dan bayinya itu tidak ada lagi di ruang tamu. Kemudian aku mendekati kamar ibu. Ku lihat ibu saat itu sedang menangis.
Karena aku penasaran. Ku dekati ibu. Saat ibu melihat ku cepat-cepat di hapusnya air mata yang sedari tadi jatuh dari matanya.
Lalu akupun bertanya, "siapa perempuan yang membawa bayi tadi? Dan kenapa ayah membawanya? Terus sekarang ayah kemana lagi buk?" layaknya anak kecil yang polos lagi meminta keterangan atas sesuatu hal yang baru saja ia lihat barusan.
Ibu pun mengambil tangan ku dan merangkul ku di dalam pelukkannya. Sembari menjelaskan sedikit demi sedikit pada ku.

Setelah mendengar semua penjelesan dari ibu. Akhirnya aku mengerti mengapa kak khomsah sebegitu marahnya kepada ayah. Padahal dulu waktu masih di desa di rumah lama. Kak khomsa dan ayah sangat akur apalagi saat sedang di sawah.

Seolah aku tak percaya. Keluarga ku yang dulu harmonis sekarang berubah menjadi dramatis. Sosok ayah yang ku kagumi sekarang ia sudah pergi dengan keluarganya yang baru. Alangkah kuatnya ibuku. Ibuku seharusnya sudah tahu dari awal kenapa ayah ingin kita sekeluarga pindah ke kota. Yaitu agar dapat menemui perempuan tersebut. Kata ibu ayah mengenal perempuan itu karena ia adalah pelanggan tetap kami. Ia membeli beras kami setiap kali panen. Ia memang pengusaha. Ia memiliki toko barang-barang manisan. Di saat itulah ayah dan ia bertemu untuk pertama kalinya dan saling komunikasi.

"Aduhai... Alangkah kuatnya ibuku ini. Sampai-sampai menutupi semuannya dari kami"... Kata ku dalam hati sembari memandangi wajahnya yang tetap tersenyum walau dalam penderitaan.

---

Hari ini aku dan kak khomsah bersama paman danu juga. Paman danu itu adalah adik kandung dari ibuku. Kami menghantarkan ibu ke rumah sakit persalinan ibu dan anak. Karena saatnya ibu melahirkan. Ku pandangi wajah ibu. Ku semangati beliau... Sembari memimpinnya untuk tak henti berzikir. Karena ayah tidak ada. Jadi aku dan kak khomsah diizinkan untuk berada dalam ruangan menemani ibu saat proses persalinan berlangsung.

"Oek. Oek. Oek..." suara yang di tunggu-tunggu itupun tiba.
"Alhamdulillah... Akhirnya aku punya adik baru lagi. Yeee. Laki-laki pula." Kataku sambil kegirangan. Karena kami dirumah perempuan semua. Itulah sebabnya aku senang saat dokter berkata kalau jenis kelamin adikku laki-laki. Prosesnya pun berjalan dengan baik dan dipermudah... Terimakasih Ya Rabb...

Setelah di bersihkan. Paman di pinta untuk masuk ke ruangan untuk mengazankan adikku. Setelah itu pemberian nama juga, agar tembuninya langsung di tanam. Ibu menyerahkan pemberian nama itu kepadaku. Terserah aku mau kasih nama apa kata ibu.
Akhirnya langsung saja spontan ku sebut "Muhammad Bilal". Yah Muhammad Bilal. Itulah nama adik laki-laki ku.

Setelah agak sehatan ibu dan adik bayiku pulang ke rumah. Aku sangat berharap ayah datang sekali saja melihat anak laki-lakinya itu. Tapi apa mau di kata. Harapan hanyalah tinggal harapan ayah tidak lagi peduli dengan kami. Simpulku saat itu.

---

Aku pun beranjak dewasa. Tepatnya waktu SMA. Ayah pernah mengirim uang kepada kak khomsah. Tapi kak khomsah berikan kepada ibu. Kak khomsah amat sangat membenci ayah.
"Ternyata ayahku masih hidup... Aku ingin bertemu dengannya". Gumam ku dalam hati.

Setiap orang bertanya tentang ayah. Sedih rasanya lagi-lagi aku harus mengatakan bahwa ayahku telah meninggal. Padahal aku sendiri tidak tahu. Apakah ia masih hidup atau tidak.

---

Tibalah dimana hari perpisahan sekolah. Rasanya iri sekali melihat teman-temanku, mereka datang bersama dengan ayah dan ibu. Tapi ahhh sudahlah. Tak perlu risau aku fikirkan. Karena aku masih punya ibu, kak salwa, kak khomsah, zaenab dan bilal.

Kemana-mana aku selalu sendirian. Mengurus semua yang berkaitan dengan hidupku. Sebisa mungkin aku lakukan dengan sendirian. Seperti saat pendaftaran masuk kuliah. Aku beranikan diri untuk merantau ke kota orang hanya demi sebuah cita-cita. Aku ingin kuliah. Dan aku harus kuliah. Alhamdulillah aku di terima di salah satu perguruan tinggi negeri di Palembang. Uang kuliah piur aku pakai uang tabungan sendiri. Uang hasil jualan kue ku saat masih SD sampai SMA dulu.

Untuk tempat tinggal aku tidak susah payah untuk membayar kontrakan. Paman danu adik ibuku sekarang menetap dipalembang. Jadi aku tinggal di tempatnya. Akupun tahu diri.
Setiap jam 3 pagi paman dan bibi ku pergi ke pasar untuk berjualan segala macam sayur mayur. Dan dirumah tinggal aku dan anak-anaknya. Tugas ku lah yang menjaga anaknya dan membereskan rumahnya. Begitulah rutinitas yang selalu aku kerjakan dirumah itu.

Waktu dulu semester 1 sampai 5 aku melanjutkan kegemaran ku berjualan kue. Setiap istirahat. Pasti langsung ludes. Hitung-hitung buat tambahan ongkos pergi pulang ke kampus.

---

Ketika itu aku berdiri di depan mading fakultas ku, tiba-tiba ada dosen yang mendekati ku. "zahra..."
"O.iya pak... Ada apa?" jawabku... Ternyata itu pak teguh. Dosen pelajaran bahasa Indonesia ku.
"Kegiatanmu selain kuliah apa saja?. Spontan saja langsung ku jawab. "Selain kuliah. Aku ikut organisasi pak. Dan jualan seperti ini." Ku tunjukan tas kresek yang di dalamnya ada wadah jajahan kue ku.
"O gitu. Bapak lagi cari guru mengaji buat anak bapak. Kira-kira kamu berminat?" pak teguh bertanya kepadaku.
Awalnya aku ragu. Tapi aku fikir tidak apa juga. Kan berbagi ilmu hitung-hitung. Bekal ilmu mengaji yang ku dapat dari ayah pun masih ku ingat.
Akhirnyda aku pun menjawab, "o.iya pak boleh. Insya Alloh berminat.".
"Baiklah. Kalau mau jam 3 sore ini. Kalau kamu sudah tidak ada jam kuliah lagi. Langsung saja mulai mengajarnya zahra. Ini alamat rumah saya". Ucap pam teguh, sembari memberikan kertas yang bertuliskan alamatnya.
"Siap pak... Terimakasih sebelumnya pak atas tawarannya". Ucapku pada pak teguh...

Semester 6 aku mulai tidak jualan kue lagi. Aku hanya fokus mengajar ngaji dan ada tambahan les privat 2 orang anak. Dari hasil mengajar itulah aku mencukupi biaya kuliahku sampai dengan wisuda.

Kak khomsah juga sudah tamat kuliahnya dan sekarang ia bekerja menjadi staff di pemkab tempat kami tinggal. Adikku zaenab masih kuliah di univ swasta di Palembang. Tapi hanye hari sabtu dan minggu. Hari-hari lainnya ia manfaatin untuk bekerja. Ia bekerja di SMA negeri tempat ia sekolah dulu. Sebagai staff Tata Usaha(TU). Sedang aku, aku sekarang berprofesi sebagai guru honor di Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang sebagai guru tetap mata pelajaran pendidikan agama Islam dan bahasa Indonesia. Karena aku memang menyukai bidang bahasa. Semasa sekolah sampai kuliah aku juga banyak mengikuti lomba-lomba yang berkaitan dengan tulisan. Dan sekarang aku sedang merampungkan novel ku. Insya Alloh akan terbit setengah bulan lagi.
Dan adikku bilal. Ia masih sekolah, sekarang kelas 3 SMA. Aku ingin sekali mewujudkan cita-citanya untuk menjadi polisi. Itulah sebabnya aku berusaha sekuat tenaga bekerja demi mewujudkan cita-cita adikku itu.

Tak ada kata yang dapat aku utarakan. Selain dengan mengucap syukur kepada Allah swt. Karena Dia aku dapat bertahan menjalani hidup yang keras ini. Inilah nikmat yang paling besar Allah berikan kepadaku dan kepada keluarga kami. Ibu yang masih sehat sampai dengan sekarang, dan masih sempat melihat anak-anaknya sukses.
Walau tanpa seorang ayah.
Tapi aku ingin mempertemukan adikku bilal dengan ayah. Karena dari masih dikandungan sampai ia lahir melihat dunia ini, hingga sekarang. Bilal belum pernah tahu wajah ayah. Karena saat dulu kami belum punya kamera untuk mengambil gambar. Foto-foto lama pun sudah banyak terbuang saat pindahan rumah.
Sekarang aku masih belum tahu, dimana ayahku berada.
"Ayah... Jika engkau saat ini masih hidup, aku ingin bertemu ayah dan memperkenalkan ayah dengan bilal. Bilal pengen sekali melihat wajah ayah". Aku berkata dalam hati sambil perlahan ku pejamkan mata ini yang mulai lelah. Dan aku pun tertidur. Berharap di dalam mimpi dapat bertemu dengan ayah.

-End-
Diambil dari kisah seorang teman...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar